Selasa, 09 Juni 2015

Ketika Cinta Bertajwid

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah. hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar.

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billagunnah, terlihat tapi dianggap tak ada.

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang.

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta.

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba - tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, paling panjang di antara yang lainnya.

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro, terpantul- pantul dengan keras.

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.

Sayangku padamu seperti mad thobi’i dalam Quran. Buanyaaakkk beneerrrrr :D

Semoga dalam hubungan kita ini kayak idgham bilagunnah, cuma berdua, lam dan ro’.

Layaknya waqaf mu’annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. DIA atau aku?

Meski perhatianku tak terlihat seperti alif lam syamsiah, cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.

Kau dan aku seperti Idghom Mutaqorribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, berhenti sempurna di akhir hayat.

Sama halnya dengan Mad ‘aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti, seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.

Layaknya huruf Tafkhim, namamu pun bercetak tebal di pikiranku.

Seperti Hukum Imalah yang dikhususkan untuk Ro’ saja, begitu juga aku yang hanya untukmu.

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun :D

DOKTOR TITA

  Alhamdulillaah aku lulus dengan nilai terbaik. Aku langsung sujud syukur atas kelulusan ini. Setelah melihat pengumuman di sekolahku yang ternyata namaku terpampamg di urutan paling atas untuk kelas IPA. Tidak kuduga sebelumnya. Meskipun tiga tahun berturut-turut aku selalu jadi juara 1 paralel di SMA Negeri Tuladha ini. Pagi yang mulai beranjak siang terasa menghangat di hatiku. Gembira, lega, dan rasa syukur yang beruah di sini. Bersama teman-teman yang juga berhasil lulus. Kulihat juga di pengumunan semua temanku lulus UN.

          “Tita, selamat ya kamu lulus dengan peringkat 1 kabupaten.” Kata Pak Budi guru Fisika favoritku sekaligus wali kelas 3 IPA 2 memberi selamat sambil menangkupkan kedua belah tangannya di depan dada. Gaya khas beliau kalau bersalaman dengan perempuan, tidak bersentuhan kulit.

          “Oiya Pak, terimakasih. Peringkat 1 kabupaten?” tanyaku sambil melongo tidak percaya. Kedua tanganku sudah tertangkup di depan dada spontan mengikuti gaya salaman Pak Budi.

          “Iya, Ta. Nih lihat di daftar peringkat peraih nilai tertinggi sekabupaten Banjarnegara.” Kata Pak Budi meyakinkanku dengan menunjukkan sebuah ‘kertas penting.’ Telunjuknya menunjuk di daftar yang ada namaku. Benar. Tita Wulansari di urutan nomor 1 dari SMA ini. Setelah kucek nomor ujiannya ternyata nomor ujianku. Deg, serasa  mau copot jantungku.

          “Wah ga’ nyangka saya Pak. Tapi ya tetap saja tidak bisa melanjutkan kuliah.” Wajahku menerawang jauh, wajah yang menurut teman-teman selalu terlihat ceria dan cerdas. Kutatap wajah Pak Budi yang sumringah aku jadi merasa tidak enak hati sudah keceplosan mengungkap isi hatiku yang terdalam. Ups.

          “Hidup memang sulit, tapi jangan bikin kamu menyerah. Ada banyak jalan untuk mewujudkan mimpimu itu. Bapak yakin Insya Alloh kamu bisa menghadapinya, kamu mampu,” nasehat Pak Budi. Paham kondisi keluargaku. Kerapkali beliau menemui bapak sekadar ngobrol-ngobrol. Rumah Pak Budi di desa Gelang, melewati 2 desa dari rumahku ke arah barat.

          “Kamu murid Bapak yang cerdas, belum pernah Bapak punya murid sepertimu. Jangan sia-siakan kecerdasanmu itu. Lanjutkanlah pendidikanmu ke bangku kuliah dan ubahlah kondisi keluargamu,” Pak Budi melanjutkan nasehatnya dan duduk di bangku kayu di samping ruang TU karena tempat pengumuman peringkat kelulusan sesekolah dipasang di dekat ruang TU. Aku berpikir keras, bagaimana aku bisa kuliah? Sedangkan bapakku berprofesi sebagai tukang becak di pasar desa Adipasir yang bernama pasar Suwuk, sebuah desa di kecamatan Rakit. Dan aku punya 5 orang adik yang masih kecil-kecil. Apalagi mereka sedang butuh banyak biaya.
***

“Tita, tidak bisa ya kamu cari beasiswa dan langsung kuliah? Tidak perlu kerja jadi babu dulu di Arab sana. Ibu takut kamu pulang tinggal nama,” Suara lembut ibu memberi alternatif lain pada keputusanku ketika kuceritakan keinginanku. Orang tuaku belum tahu niatku sebelumnya. Berat hatiku mengungkapkannya ke orang tuaku. Seolah ada barbel ratusan kilo di pundak.

“Sebenernya Tita dapat PMDK, Bu. Diterima di IPB tapi setelah Tita pikir-pikir Tita mantap memilih jadi TKI ke Arab.” Tita mencoba kukuh pada keputusannya. Ketika menatap ke dalam mata ibunya, tersirat ketidaksetujuan di sana.
“Kalau masalah biaya sekolah adik-adikmu, Bapak dan Ibu masih bisa usaha. Adik-adikmu Alhamdulillah ada dermawan yang menanggung biaya pendidikan mereka. Dari Gilar-gilar Peduli,” terang bapak yang seia-sekata dengan ibu. Sama-sama tidak setuju aku akan pergi ke Arab. Aku menghela nafas. Berat.

“Tita sudah pikirkan masak-masak, malahan sudah istikharah juga dan hasilnya kemantapan hati Tita untuk pergi. Makanya Tita berani minta ijin ke Ibu sama Bapak,” jelasku yang akhirnya mampu mengeluarkan kata-kata yang serasa tercekat di tenggorokan. Memang bukan keputusan yang mudah. “Ya Alloh, semoga orang tua mengijinkanku,” bisik hatiku berdoa. Kutatap wajah ibu dan bapak yang berubah menegang mendengar kata-kata yang baru kuucapkan.
***

Terdamparlah aku di sebuah negeri yang jaraknya ribuan kilometer dari negeriku Indonesia. Timur Tengah, nama negaranya: Arab Saudi. Keputusan berat ini harus kuambil dengan segenap risiko yang mesti kutanggung. “Tita, sebenarnya Bapak sangat berat melepasmu pergi. Takut dan khawatir bakal dianiaya majikanmu di sana. Tapi kalau memang tekadmu sudah bulat Bapak tidak akan melarangmu. Jaga dirimu baik-baik di sana. Jilbabnya harus selalu kau pakai ya, Nak? Jangan sampai auratmu kelihatan,” ucapan bapak terngiang-ngiang di telingaku. Wajah sabarnya terbayang di pelupuk mataku. Kangen.

Aku turuti nasihat bapakku untuk terus memakai jilbab dan Alhamdulillah sampai sekarang aku baik-baik saja. Malahan saking khawatirnya aku jahit pinggiran kerudung segi empatku dengan kode-kode rahasia. Kode rahasia itu sebenarnya adalah nomor telepon yang harus kuhubungi kalau terjadi apa-apa. Misalnya mendapat tindak kekerasan dari majikan. Kubuat sandi sedemikian rupa agar tidak mencurigakan dan kata majikan perempuanku kerudungku bagus, unik. Akhirnya dia pesan minta dibuatkan kerudung seperti punyaku. Andai dia tahu arti hiasan pinggir kerudungku…

Pekerjaanku lumayan berat, hampir 24 jam kecuali waktu sholat yang harus on time. Dari mulai mengurus rumah yang 3 lantai, menemani 2 orang anak majikan yang masih berumur 8 dan 6 tahun, memasak, menyetrika baju, dan seabrek pekerjaan lainnya. Apalagi majikan perempuanku itu buka butik di dekat rumah. Sekitar 50 meter dari rumah letaknya. Kadang-kadang aku disuruh membantunya di butik itu.

Setiap hari Sabtu sampai Ahad majikan laki-laki pulang ke rumah. Namanya Pak Jafar, ku-Indonesiakan pakai “Pak” agar lebih familiar. Seorang insinyur teknik yang bekerja di perusahaan konstruksi. Postur tubuhnya tinggi atletis, kulit putih, tatapan mata elang dengan hidung mancung khas orang Arab. Rambutnya hitam-ikal dan bola mata berwarna coklat. Kalau Cristian Bautista itu kunilai 10, majikan laki-lakiku 12! Pak Jafar sedang di rumah maka aku biasa menyingkir ke ruang anak-anak bermain, ke perpustakaan rumah, dapur, atau ke kamarku. Bukan karena takut, memang itulah aturan yang sengaja dibuat istri majikanku yang bernama Bu Sholihah. Aturan yang kusepakati saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.
***
Aku khawatir akan terjadi hal buruk padaku. Membuatku stres, pikiranku tidak tenang bahkan sering mimpi buruk. Ditambah lagi jadwal kerja yang ketat. Aku lelah Ya Robb… Tiba-tiba, brukk!
Kubuka kedua mataku pelan-pelan, aku silau melihat sinar lampu setelah lama terpejam, membuatku berkedip-kedip beberapa saat di ruang serba putih. Sesosok perempuan berkerudung duduk di samping ranjang yang juga putih. “Halimah, kamu di rumah sakit sekarang. Tadi kamu pingsan pas lagi masak kari unta.” Kata perempuan berkerudung itu, majikanku.

“Halimah?” tanyaku dalam hati. Oiya, majikan perempuanku sering memanggilku Halimah karena menurutnya mukaku mirip dengan temannya itu. Cuma kulitku gosong. Kalau tidak memanggilku Tita ya Halimah. Orang Arab memang kadang susah mengucapkan nama orang Indonesia. Seandainya namaku Sakinem bakal dapat nama baru apa ya? “Kamu kenapa? Pakai acara pingsan segala. Ibu kan sudah bilang kalau kamu cape’ ya istirahat dulu. Kerja jangan diforsir, akhirnya jadi kayak gini!” Majikan perempuanku mulai mengomeliku. Kamu pingsan sampai 4 jam! Gimana aku tidak khawatir!” Nada suaranya meninggi. “Perlu kamu tahu ya, aku tidak mungkin menganiayamu untuk urusan apapun di rumah. Dosa kalau aku melakukannya,” lanjut Bu Sholilah melembut. Tadi aku sempat ingin pingsan lagi mendengar omelannya. Tidak lihat kondisiku yang ‘baru kembali ke dunia nyata’. Hhhh

“Tita, tolong kirim e-mail ke temanku ya? Sekarang aku buru-buru mau pergi ke pasar mau belanja buat acara nanti sore.” Kata Bu Sholihah tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang menyetrika baju. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 “Pakai bahasa Inggris kok, ga tulisan Arab. Kamu bisa kan?” lanjutnya sambil merapikan kerudung hijau yang dipakainya di depan cermin ruang pakaian. Aku sedang membenahi baju yang sudah selesai kusetrika ke lemari pakaian di ruang pakaian. “Itu alamat e-mailnya ada di buku telepon dan cari yang namanya Khumaira. Usahakan dikirim sebelum jam 2, siang ini juga ya? Terima kasih,” tangan lembutnya menjabat tanganku disertai binar mata cantiknya yang berseri indah. Kebiasaan baru majikanku pasca pingsanku beberapa hari lalu, jadi suka menyalamiku ketika akan pergi. Aku sudah lebih rileks menyesuaikan ritme hidup di sini.

“Insya Alloh,” tukasku yang sampai sekarang masih terkagum-kagum dengan kecantikan istri Pak Jafar. Padahal tiap hari aku bertemu majikan perempuanku itu. Padahal aku perempuan, bagaimana kalau laki-laki. Mungkin langsung jatuh cinta. “Cckk…cckk..ccckkk,” decakku tanpa sadar. Subhanalloh cantiknya. Aku bersyukur karena kemampuan bahasa Inggrisku lumayan. Waktu SMA skor TOEFL-ku 600, tidak tahu sekarang berapa. Jadi aku tidak terlalu kesulitan mengerjakan tugas dari majikanku itu. Baru kutahu ternyata Khumaira orang Inggris. Kata Bu Sholihah sore harinya padaku waktu beres-beres dapur.
***
Hari-hari berjalan dengan pasti, tanpa kenal henti. Tidak terasa sudah 2 tahun aku di Arab. Akhirnya aku memperpanjang kontrak kerja untuk 2 tahun lagi setelah aku menyelesaikan kontrak 2 tahun pertamaku. Aku akan bertahan untuk 2 tahun ke depan. Modal kuliah, hehe.

          Empat tahun kemudian.
Selesailah sudah masa-masa untukku mengumpulkan uang di negeri orang. Apakah aku lupa impianku? Tidak sobat, tidak sedetikpun aku lupa. Maka inilah saatnya aku pulang ke tanah air merealisasikan mimpi.

          “Saya sudah bertekad akan melanjutkan kuliah, Bu. Saya tidak akan datang ke sini lagi. Maaf, saya tidak bisa memenuhi harapan Bapak dan Ibu berdua,” kataku menjelaskan. Koperku yang berat kuseret keluar rumah.

          “Selamat tinggal Tita, mudah-mudahan Alloh memudahkanmu meraih impianmu.” Ucap Pak Jafar dengan suara baritonnya. Aku mengangguk. “Aamiin, terimakasih atas doa Pak Jafar,” kataku takzim.

          “Hafid sama Nisa jangan nakal ya, kakak pulang dulu ke Indonesia. Nanti kita bisa kirim-kiriman e-mail kalau kalian sudah lancar bahasa Inggrisnya. Kalau kakak pakai bahasa Arab, belum lancar.” Senyumku mengembang dan kutatap lekat kedua anak itu. Kucubit pipi Nisa yang menggemaskan. Mereka berdua benar-benar cetakan kedua orang tuanya, sepasang saudara kandung yang cantik dan tampan. “Iya, Kak. Indonesia itu jauh ya, Kak? Berapa lama naik pesawatnya?” Tanya si kecil Nisa penasaran. Mata bulatnya menyiratkan tanya yang besar. “Iya sayang, jaauuh…naik pesawatnya 8 sampai 9 jam,” jawabku.

          “Ibu Sholihah dan Pak Jafar terimakasih banyak atas semuanya, kalian berdua adalah majikan yang sangat baik, tidak akan pernah saya lupakan semua kebaikan kalian. Semoga Alloh membalas kebaikan kalian. Dan mohon maaf atas segala kekhilafan saya selama bekerja di sini,” kataku sambil tak kuasa menahan derai air mata yang mulai menganak sungai. Di sela-sela persiapan keberangkatanku ke bandara, Pak Jafar ngotot ingin mengantarkanku ke bandara dengan mobil Honda Jazz-nya. Dan akhirnya mereka sekeluarga mengantarku. Aku sangat senang.
***

          Sampailah aku di semester akhir kuliah sarjanaku di program studi Ilmu Pangan dan Gizi di universitas negeri. Aku masuk D3 dulu karena batas umurku sudah lewat untuk mendaftar di program sarjana universitas negeri. Ibu dan Bapak di rumah sangat mendukungku melanjutkan studi. Adik-adikku tambah semangat belajar dan berprestasi. Mereka semuanya dapat beasiswa, aku kagum dan bangga punya adik seperti mereka. Umar, Aji, Indah, Dian, dan Tio. Nama adik-adikku, yang terhebat di seluruh dunia. Adik-adik manisku, yang dengan kejernihan hati dan akal kanak-kanaknya mampu memahami kondisi orang tua yang serba kekurangan. Anak-anak yang ditempa oleh kepahitan hidup. Menjadikannya dewasa sebelum waktunya. Segala kekurangan dan keterbatasan semakin mengukuhkan kerja keras mereka, tekad mereka. Membaja.

          “Tita, penelitianmu memenangkan hibah penelitian dari DIKTI. Selamat ya, silakan dilanjutkan,” kata Pak Heru dosen pembimbingku setengah tahun lalu waktu aku mengajukan proposal penelitian ke beliau. Eh, ternyata beliau mengusulkanku untuk mendapatkan hibah penelitian dari DIKTI. Tidak dinyana tidak diduga. Kuterima sepucuk surat keterangan berisi pengumuman pemenang hibah dari DIKTI. Rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Alhamdulillah.

          Selesai kuliah sarjana aku diminta universitas untuk mengajar. Mungkin karena IPK-ku ketika lulus 4.00 lulusan terbaik seuniv. Kurundingkan dulu dengan Bapak dan Ibu, tidak lupa aku lakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk yang terbaik dari Yang Maha Kuasa. Akhirnya jadilah aku mengajar di tempatku kuliah. Ceritanya aku jadi dosen nih. Setahun kemudian aku dapat beasiswa S2 ke Jepang. Kemudian Doktoralnya kuraih di Jepang juga. Waktu kuliah di Jepang aku bertemu suamiku, cinlok orang bilang. Hehe.

          Bapakku sudah tidak jadi tukang becak lagi sekarang. Beliau bisnis keripik ikan mujair yang ikannya banyak dibudidayakan di daerahku. Untuk kegiatan di masa tua, katanya. Meskipun aku sudah melarangnya beraktifitas berat. Kalau ibu membantu bisnis bapak. Dan adik-adikku, ada yang tembus di UI dan UGM. Yang ketiga dan keempat masih SMA, dan yang bungsu masih di bangku SMP. Perekonomian keluarga kami semakin membaik. Alhamdulillah, atas segala nikmat yang Alloh berikan padaku dan keluargaku. Setelah semua kerja keras mengejar masa depan. Perjuangan dan pengorbanan yang tak kenal henti. Meski miskin, meski udik, meski apapun…tidak boleh putus asa. Mengasah mental kami.
         Kau masih ingat anak mantan majikanku dulu yang bernama Nisa? Ternyata dia memilih kuliah di fakultas kedokteran UI! Anak yang cerdas, jadi ingat dulu pas aku mengajarinya pelajaran Biologi di SD. Memang sudah sekian tahun aku dan keluarga mantan majikanku masih menyambung silaturahim, kami rajin kirim e-mail dan berceloteh-celoteh di FB dan Twitter.
          “Semoga aku bisa mempersembahkan yang terbaik dalam sepenggal episode hidup ini. Karena-Mu Yaa Alloh…” (sepenggal kata yang tertulis pada secarik kertas di buku agenda milik DR. Tita Wulansari—namaku. Seorang mantan TKW yang pernah bekerja di Arab Saudi).
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

NH. Yanti @Surakarta, 120911 (Terinspirasi o/ kisah seorang Doktor perempuan di Prov. Banten yg mantan TKI).

kegagalan

Dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan menjadi jatah kita. Seorang mukmin melihat itu semua dari kaca mata akidah bahwa hidup ini begitu singkat. Dan apa yang memang menjadi jatah kita di dunia entah itu rezeki, jabatan, kedudukan, pasti akan Alloh sampaikan. Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan bisa kita miliki, meski ia nyaris menghampiri kita.

Dirimu

kau hadir membawa cahaya
menerangi hidupku
menyiramiku dengan air cintamu
bukan hanya menyirami,
bahkan menghujaniku
dengan cintamu

namamu, merasuk di kalbu